Sabtu, 05 Februari 2011

"MUSASHI" - Eiji Yoshikawa

Kisah ini terjadi sekitar akhir abab XVI dan awal abab XVII. Jaman dimana Tokugawa Ieyasu mulai tampil menancapkan pengaruhnya ke seluruh Jepang. Musashi, tokoh kelas bawah yang mencari jati diri lewat pedang. Dengan kisah ini, kita bisa melihat situasi sosial - politik - budaya saat itu. Kisah ini memberikan kilasan sejarah Jepang dan pemahaman akan idealisasi citra-diri manusia Jepang masa kini.

Kyoto, kota pertama yang ditujunya. Ia menentang aliran termasyhur saat itu, Yoshioka. Sendirian ia berhasil membunuh 70 lawannya. Sementara itu, ia terus mengembara untuk mematangkan teknik pedangnya dan juga filsafatnya. Sedikit demi sedikit ia sadar bahwa "pejuang terbaik tidak lagi berkelahi", dan ia pun mulai beralih mencari seni damai: membantu petani mengolah tanah, mengorganisir mereka melawan bandit-bandit.

Kisah yang ditulis dengan gaya yang mirip dengan fiksi tradisional Jepang. Tidak kurang dari 120 juta eksemplar buku ini terjual! Sudah tujuh kali kisah ini difilmkan.

Musashi memberikan jawaban, "Kalau kebetulan saya terbunuh, tak ada bedanya, apakah Anda membuang tubuh saya ke Gunung Toribe atau melemparkannya ke Sungai Kamo bersama sampah. Baik untuk yang pertama maupun yang kedua, saya berjanji tak akan menuntut balas."

Bagi Musashi, yang penting sejak sekarang dan untuk seterusnya adalah pedangnya dan masyarakat sekitarnya, juga seni pedang yang dikuasainya dalam hubungan kehadirannya sebagai manusia. Pada saat memperoleh pemahaman mendalam itu, ia pun puas karena telah menemukan hubungan antara seni beladiri dan visinya mengenai kebesaran.

Musashi lebih cepat dari pedang. Dan lebih cepat lagi lejitan pedang berkilau dari sarungnya sendiri. Kedua orang itu sudah terlampau dekat untuk dapat tampil tanpa cedera, tapi sejenak sesudah cahaya pantulan pedang menari-nari, mereka mundur.

Musashi menjaga betul agar tidak melakukan gerakan tak perlu. Taktik-taktiknya yang primitif tidak dapat dipergunakan. Sampai batas-batas tertentu ia merasa heran, karena tangannya menolak dijulurkan. Maka hal terbaik yang dapat dilakukannya adalah mengambil jurus bertahan konservatif, dan menanti. Matanya semakin merah mencari peluang, dan ia berdoa kepada Hachiman agar menang.

Musashi memperhatikan segumpal awan kecil di langit. Ketika itulah jiwanya kembali ke tubuhnya, dan baru waktu itulah ia melihat beda antara awan dan dirinya, antara tubuhnya dan alam semesta.

Manusia tak pernah meninggalkan rasa cinta dan benci selama hidupnya. Gelombang perasaan datang dan pergi, bersama seiring dengan waktu. Sepanjang hidup Musashi, ada saja orang-orang yang membenci kemenangannya dan mengecam tingkah lakunya pada hari itu.
Pedang dan gelimang darah
Kemenangan tanpa mengalahkan
Sekali tebas untuk sebuah kepastian
Tiada kesombongan bagi satu keberhasilan

Musashi adalah sosok samurai sejati...

"GAJAH MADA" - Langit Kresna Hariadi


Gajah Mada merupakan sosok yang sulit terlupakan dalam sejarah bangsa Indonesia. Ingat peristiwa Sumpah Palapa? Pasti ingat juga terhadap tokoh besar ini. Kebesaran sejarah Mojopahit tidak terlepas dari tangan dingin sang Tokoh Legendaris 'Gajah Mada'. Bila kita membaca sejarah dalam bentuk aslinya, mungkin kita akan sedikit kesulitan memahami apalagi mengingat kejadian demi kejadian pada masa lampau. Namun, bila seorang Novelis mampu menyajikan cerita sejarah dalam bentuk epik - walaupun mungkin isi sejarah sudah tidak asli lagi karena diolah sedemikian rupa agar enak dibaca - maka si pembaca akan mudah dan dengan sukarela memahami dan mengerti jalan cerita sejarah pada masa lampau. Inilah yang disuguhkan oleh sang Novelis LKH(Langit Kresna Hariadi) dalam buku serial GAJAH MADA.

Gajah Mada yang awalnya hanya sebagai seorang lurah prajurit(bekel), mampu meniti karir dengan tekun dan ulet. Mencari celah-celah untuk menggapai cita-cita besarnya sebagai seseorang yang suatu saat bakal membuat "geger" bumi Jawa, bahkan sampai seluruh Nusantara. Kiprah Gajah Mada diawali dengan upaya penyelamatan gemilang seorang Raja Mojopahit yang harus tergusur sesaat dari singgasana akibat pemberontakan(Makar) dari Ra Kuti. Ra Kuti yang didukung para Dharmaputra Winehsuka, walaupun cuma sesaat, mampu menggusur Sri Jayanegara yang saat itu memegang tampuk kekuasaan atas Singgasana Mojopahit.

Kepergian Sri Jayanegara dari singgasana menyebabkan kegelisahan rakyat Mojopahit. Tertulis dalam buku-buku sejarah, ketika pemberontakan Ra Kuti itu terjadi, Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara menyelamatkan Sri Jayanegara ke Bedander. Dengan kemampuan Gajah Mada selaku pimpinan Bhayangkara yang notabene adalah pasukan Telik Sandi (Intelegent negara), Gajah Mada mampu mengembalikan Sri Jayanegara ke Singgasana Mojopahit setelah menggagalkan makar Ra Kuti dan kawan-kawan.

Kemampuan untuk menahan diri, melihat situasi, dan mempergunakan sumber daya Telik Sandi; serta mengambil sikap tegas pada saat yang tepat, mampu menjungkirkan Ra Kuti dari Singgasana dalam waktu yang sangat singkat. Sejak saat itulah nama Gajah Mada mulai diperhitungkan di kancah perpolitikan dan pemerintahan di kerajaan Mojopahit. Padahal, boleh dikata saat itu usia dan pengalaman Gajah Mada masih terlalu "muda" untuk memperoleh posisi penting di pemerintahan. Sedikit demi sedikit tetapi pasti, Gajah Mada mampu menancapkan pengaruhnya di lingkungan Istana yang penuh dengan intrik, perpecahan, dan ambisi untuk memperoleh posisi penting di Kerajaan Mojopahit.

Gajah Mada adalah tokoh yang kontroversial, disegani kawan sekaligus ditakuti lawan. Tokoh sejarah sekaliber Gajah Mada sulit dijumpai dan ditandingi oleh tokoh-tokoh lain di bumi jagad Nusantara ini. Gajah Mada yang sejak mengucapkan "Sumpah Palapa"-nya; bertekad untuk tidak menikah dan mengabdikan diri sepenuhnya untuk kepentingan dan kejayaan Mojopahit. Para ahli sejarah sampai saat ini masih simpang siur menentukan dimana Gajah Mada lahir dan dimana serta kapan Gajah Mada meninggal. Bahkan kubur Gajah Mada'pun sampai saat ini belum pernah ditemukan. Menjadi tantangan tersendiri bagi para sejarahwan kita untuk menggali sisa-sisa sejarah Mojopahit.

Mengenai olah kanuragan yang Gajah Mada miliki, betul-betul menjadi misteri yang menarik untuk diikuti. Ketokohan dan kepemimpinan Gajah mada sampai menjadi seorang 'Mahapatih' sungguh luar biasa. Ironis!, kejatuhan karir Gajah Mada justru karena kecerobohannya dalam memutuskan suatu sikap antara ambisi Gajah Mada pribadi dengan kepentingan Kerajaan Mojopahit secara keseluruhannya. Hal ini tercermin dari terjadinya 'Perang Bubat' yang menyebabkan gugurnya sang calon permaisuri raja yaitu Dyah Pitaloka yang nama lengkapnya adalah 'Dyah Pitaloka Citraresmi' beserta kedua orang tuanya dilapangan Bubat.
Riuh rendah, gegap gempita dari sepak terjang sang tokoh legendaris Gajah Mada, dapat anda ikuti dalam cerita serial Gajah Mada mulai dari:
  1. Bergelut dalam kemelut Takhta Dan Angkara
  2. Hamukti Palapa
  3. Perang Bubat
  4. Madakaripura Hamukti Moksa

Selamat untuk LKH(Langit Kresna Hariadi) dan sukses untuk buku-buku yang telah dan akan diterbitkannya. Kiranya anda akan terpuaskan membaca, memiliki, dan mengkoleksi serial Gajah Mada ini.

Jumat, 04 Februari 2011

"EMPRESS ORCHID" - Anchee min

Sebuah buku yang menceritakan drama percintaan dan kekuasaan selir muda Kaisar Hsien Feng. Novel yang membangkitkan gairah membaca serta memanjakan perasaan dengan adegan-adegan yang menyentuh hati. Berlatar belakang saat-saat akhir 'Dinasti Ching' yang notabene adalah penguasa China berdarah Manchu. Persaingan antara sang Permaisuri Nuharoo dan sang selir kaisar yaitu Putri Yehonala; berakhir dengan persekongkolan disaat-saat menjelang ajal Kaisar Hsien Feng; disertai dengan keegoisan dan kecongkakan Ibu Suri Kaisar(Ibunda Kaisar). Dikisahkan sebegitu rupa; sehingga membaca buku ini ikut merasakan haru biru kesedihan, ketegangan, dan kegusaran yang tiada hentinya.

Epik tentang Putri Yehonala - seorang gadis desa yang mencapai kekuasaan tertinggi di kota terlarang - dipenuhi dengan intrik-intrik politik, pembunuhan, dan fitnah. Novel berlatar belakang historis ini dikisahkan oleh Anchee Min; yang lahir di Shanghai pada tahun 1957. Putri Yehonala, yang terkenal dengan sebutan "Tzu Hsi", dengan ambisi menggebu-gebu berusaha untuk melindungi sang putra tunggal tercinta pangeran "Tung Chih", akhirnya mengantarkannya menjadi pemegang kekuasaan tertinggi disaat Tung Chih mewarisi gelar Kaisar pada usia yang masih sangat muda.

"Empress Orchid" adalah sebuah novel yang menghadirkan cerita memilukan dan penuh gelora Maharani Anggrek - yang merupakan panggilan sayang Kaisar kepada Tzu Hsi - yang memerintah Dinasti Ching selama 46 tahun. Buku ini layak untuk dibaca dan dikoleksi bagi peminat kisah tentang kehidupan di seputar Kota Terlarang.
Kami memasuki Peking melalui gerbang selatan. Aku terpana melihat dinding-dinding tebal berwarna kemerahan itu. Dinding itu ada dimana-mana, satu dinding dibalik dinding yang lain, berkelok-kelok melingkari seluruh kota tersebut. Tingginya sekitar 40 kaki dan tebalnya 50 kaki. Tepat di jantung kota yang bagaikan merayap rendah itu tersembunyilah Kota Terlarang, kediaman Sang Kaisar.

Aku berjalan diantara ribuan gadis yang terpilih dari seluruh negeri. Setelah pemeriksaan yang pertama, jumlah ini berkurang hingga tinggal dua ratus orang. Aku termasuk mereka yang beruntung, dan kini bersaing untuk menjadi salah seorang dari ketujuh istri Kaisar Hsien Feng.
Para kasim memeriksa tanda lahir kami, bintang, tinggi, berat, bentuk tangan dan kaki, rambut kami. Semuanya harus serasi dengan daftar pertanda pribadi Sang Kaisar. Kami disuruh membuka baju, lalu berbaris. Satu demi satu kami diperiksa oleh kepala kasim, yang diikuti seorang asisten untuk mencatat kata-katanya dalam sebuah buku.

"Yang Mulia Kaisar Hsien Feng dan Yang Mulia Ibu Suri Jin memanggil....." Meninggikan suaranya, Kepala Kasim Shim menyebutkan beberapa nama. "... dan Nuharoo, dan Yehonala!"

An-te-hai bercerita bahwa Kaisar Hsien Feng punya dua ranjang dikamarnya. Setiap malam, kedua tempat tidur itu akan disiapkan dan tirainya diturunkan sehingga tak ada yang tahu pasti diranjang yang mana kaisar tidur. Rahasianya untuk memperoleh banyak informasi adalah membuat setiap orang yakin bahwa dia tak berbahaya. An-te-hai mengatakan bahwa aku bisa memilih untuk dimandikan para kasim, atau para pelayan. Tentu saja pelayan, kataku. Akan janggal dan kikuk sekali rasanya kalau aku harus membuka tubuhku dihadapan para kasim. Sepintas penampilan mereka nyaris sama saja seperti pria normal. Aku tak bisa membayangkan mereka menyentuh tubuhku.

Anakku, yang lahir pada 1 Mei 1856, resminya diberi nama Tung Chih. Tung berarti 'bersama-sama', dan Chih 'memerintah' - dengan demikian artinya "memerintah bersama-sama". Kalau percaya takhayul, aku akan sadar bahwa nama itu sendiri merupakan pertanda.

Mei 1858, Pangeran Kung membawa berita bahwa prajurit kami dibombardir saat masih berada dalam barak. Pasukan Prancis dan Inggris menyerang empat benteng Taku di mulut Sungai Peiho. Kaisar Hsien Feng mendeklarasikan keadaan darurat perang.

Pada 1 Agustus 1860 adalah hari terburuk bagi Kaisar Hsien Feng. Kini tak ada yang bisa menahan orang-orang barbar itu. Inggris datang dengan 173 kapal perang dan 10.000 prajurit, Prancis dengan 33 kapal dan 6.000 serdadu. Rusia turut bergabung. Bersama-sama, ketiganya mendaratkan kekuatan sekitar 18.000 orang di sepanjang pantai Teluk Chihli.

Upacara yang menandai kenaikan takhta Tung Chih secara resmi dimulai saat jenazah Hsien Feng dimasukkan kedalam peti. Sebuah dekrit dikeluarkan dalam kalangan istana untuk menyatakan era baru ini, dan Tung Chih diharapkan mengeluarkan sebuah dekrit untuk menghormati kedua ibunya.

Pada 2 September 1861, dekrit resmi pertama dipublikasikan, menyatakan kehadiran era baru pada seluruh bangsa dan pelantikan yang akan dilaksanakan terhadap sang Kaisar kecil.

Begitu aku muncul dihadapan khalayak yang tengah menunggu; semua menteri berlutut dan bersujud, membentur-benturkan dahi mereka seperti orang gila ke tanah, bersama-sama menyerukan namaku. Mereka telah salah menafsirkan usahaku untuk tetap tinggal di dalam sebagai bukti kesetiaanku pada mendiang Yang Mulia Kaisar Hsien Feng. Mereka terpesona akan kebajikanku.

"TANRIL" - Nafta S. Meika

Kupandangi cukup lama; kuambil dari rak toko buku; masih rapi terbungkus plastik; kuamati dan kubolak-balik, lalu kuletakkan kembali ke rak buku. Setelah berputar-putar beberapa saat - untuk melihat buku-buku lain - aku kembali ke tempat semula. Kulihat lagi buku "TANRIL", kuambil lagi dan ragu-ragu: beli; enggak; beli ah; enggak dan akhirnya kubeli juga buku ini. Sedemikian paranoid'kah diriku?.

Pengalaman seringkali menjadi guru terbaik. Sudah beberapa kali aku kecewa setelah membeli sebuah buku. Diluar tampak menarik, setelah kubeli dan kubaca di rumah: Aku sering terheran-heran; kenapa ada buku se-"parah" ini?, tidak berbobot dan sangat mengecewakan. Dengan pengalaman seperti ini, aku mulai selektif untuk membeli buku. Jadi, tentu saja aku berharap untuk mendapatkan buku yang ber-"mutu".Bila toh akhirnya aku memperoleh buku yang mengecewakan, aku akan segera mencatat nama pengarang serta penerbitnya untuk tidak lagi membeli buku dengan pengarang maupun penerbit untuk buku yang kusebut tidak ber-"mutu" itu.

Lalu bagaimana dengan dua serial buku "TANRIL" ini?. Apakah aku kecewa?. Ternyata aku sangat "puas". Membaca dengan enjoy dan merasakan gemuruh semangat untuk terus memelototi halaman demi halaman. Karena buku ini bagiku memiliki daya tarik tersendiri. Cerita fiksi yang disuguhkan membuat aku yang membacanya sampai terheran-heran. Ternyata masih ada penulis cerita silat yang tidak kalah dengan legenda cersil Kho Ping Hoo. Nafta S. Meika - sang pengarang novel silat epik "TANRIL" - mampu menyuguhkan cerita khayal silat kelas tinggi tanpa membuat pembaca merasa dibodohi. Sekali lagi, buku ini pantas untuk dibeli dan layak dikoleksi.
Namaku Wander Natalez Howard.
Tidak ada yang penting atau menarik yang bisa diceritakan mengenai diriku. Sungguh! Kecuali... mungkin sebuah mimpi aneh yang pernah kualami.
Hari itu adalah hari terburuk dalam hidupku. Seluruh tubuhku serasa terjerang, merah oleh bara demam. Segalanya terasa begitu menyakitkan, berat, hingga penglihatanku kabur lalu gelap sama sekali.
Aku menyadari bahwa aku masih ada di pembaringan, kuyup oleh keringat. Sekitarku gelap.
Aku melihat ke sekeliling. Ibu dan kakak tampak sedang tidur kecapaian, di sampingku.
Mereka lalu menatap lukisan itu lagi, dan merasa sekali lagi melihat bangau-bangau itu bergerak begitu anggun, dan sekali lagi menghisap  perhatian mereka dengan penuh rasa takjub dan ketenangan yang misterius.

Ilmu bela diri atau seni olah tubuh dianggap sebagai seni paling unggul pada jaman itu. Karena itu diberi julukan singkat sebagai arts. Yaitu rajanya semua kesenian dan keterampilan.
"Aku ingin jadi kuat. Aku suka dengan arts... Kumohon ijin..."

Kurt Bondan Manjare, atau lebih dikenal sebagai Tukang Kebun Rambut Emas, adalah Pengejar Mimpi paling misterius di kota Fru Gar.
Beliau memiliki sebuah wisma besar dan mewah di bagian timur kota, dimana ia tinggal di dalamnya bagaikan seorang pertapa.
Wander melakukannya dan Kurt melihat ke dalam rongga mulut Wander dengan bantuan cahaya lampu minyak. Ketika dia selesai, mendadak ia memencet bagian punggung Wander dekat tulang belakangnya. Saat itu juga, Wander merasa tubuhnya seakan disengat listrik! Seluruh rambut di tubuhnya sontak berdiri, tapi anehnya dia merasa begitu nyaman, bahkan begitu lega. Butir-butir keringat sebesar biji jagung bercucuran dari tubuhnya, dari ujung kepala sampai ke kaki.

Berikutnya, Wander belajar bagaimana bersemedi untuk mengumpulkan tenaga lebih lanjut. Ia melatih napas sambil bersila selama dua jam terus menerus, sampai Kurt menyuruhnya berhenti.
Karena chi-nya adalah miliknya sendiri, ia harus menyelidiki sifat-sifatnya lebih dalam.

Di tengah terjangan gelombang manusia itu, ia bisa merasakan darahnya mendidih ketika energinya makin bergelora! Lusinan prajurit terhantam, terpental, dan akhirnya gelombang itu buyar ke berbagai arah! Tempat ia berdiri sekarang sudah bersih dari musuh, dari tadinya lautan terjangan manusia!
Dia tidak menyadari bahwa pada saat itu ia telah mencapai puncak Tingkat Kekuatan Katedral Samudra Aqumarine. Akan tetapi, Chi di dalam dirinya masih terus mengalir... Dia terus berjuang menguasai luapan tenaganya itu, sambil terus mengontrol emosinya!

Chi adalah energi yang dikaitkan dengan hawa kehidupan atau kelangsungan makhluk hidup; Tidak ada Chi tanpa hidup atau sebaliknya. Sebuah kumpulan tenaga yang bisa dialirkan dan digunakan serta dicapai dengan latihan spiritual maupun fisik yang terkait erat dengan pernapasan, visualisasi, dan sirkulasi. Energi alam, nutrisi makanan, semangat, dan udara yang terserap dalam tubuh, menjadi energi simpanan di luar kekuatan fisik. Kuasa hidup yang terdiri dari dua kutub: Yang merupakan energi panas yang mengalir lurus serta Yin, energi dingin yang berpilin dan berpusar.

Wander mampu menyelesaikan 16 kali fase ledakan chi selama 11 tahun berlatih tanpa kerusakan berarti karena karunia lahirnya sebagai TANRIL yang memiliki daya regenerasi tinggi.

Kamis, 03 Februari 2011

"The Last Concubine" - Lesley Downer

Gambaran yang paling melekat dalam ingatan Sachi - saat mengenang kampung halamannya bertahun-tahun kemudian - adalah pohon-pohon pinus tinggi yang berbaris di sepanjang tepi jalan; langit melengkung yang terlihat lebih dekat seakan-akan bisa disentuh; gunung-gunung pucat berkilauan yang terlihat sangat jauh.

Mendengar rencana kedatangan sang putri, Sachi duduk di samping alat pintal, membantu ibunya menggulung kapas menjadi gelondongan; sementara neneknya memutar roda pemintal di sudut ruangan.

Menjadi pengantin shogun! Hal itu terdengar seperti dongeng yang kadang kala diceritakan nenek. Gadis itu merasa penasaran bagaimana rupa sang shogun. Apakah ia tua dan jelek, keriput serta kurus kering seperti rahib di desanya? Atau masih muda dan penuh semangat?

Sachi mulai memahami mengapa wajah Yang Mulia Putri terlihat begitu akrab. Karena wajah itu mirip dengan wajah yang terpantul dari cermin ibunya yang kusam - seraut wajah serupa wajahnya, hanya saja dalam versi yang lebih dewasa.

Sekilas Sachi memandang ke arah sang putri. Dia bisa menebak apa yang ada dalam benaknya. Sang putri telah dipaksa pergi ke Edo dan menikah dengan shogun, padahal ia telah bertunangan dengan seorang pangeran kekaisaran.

Kastil Edo terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama disebut Aula Dalam atau Ooku, tempat para perempuan agung dan pengiringnya tinggal; yang dilengkapi dengan taman-taman kesenangan, danau-danau, dan sungai kecil serta air terjun, ditambah dengan adanya panggung-panggung untuk pertunjukan drama dan tari.

"Kau pasti lelah," ia berkata, menggunakan kata-kata resmi yang masih digunakan majikan kepada pelayannya untuk berterima kasih. "Kau telah melayani saya dengan baik." Inilah pertama kalinya sang putri berbicara langsung kepada Sachi. Ia melirik. Sesaat, kedua mata mereka bertemu. Senyum Putri Kazu terlihat agak sedih.

Begitulah, suatu hari Lord Ieyoshi melihatku. Sebenarnya, ayahnya juga menginginkan aku, tapi beliau membiarkan Lord Ieyoshi meminangku. Dan seperti itulah yang terjadi. Selanjutnya yang aku tahu, aku telah menjadi selir. Di masa itu ada banyak sekali selir.

Sachi sedang belajar bagaimana bersikap sebagai perempuan agung; berusaha mencari tahu cara bersikap terhadap orang yang berada di bawah derajatnya. Sebelum ini, derajatnya hampir sama rendahnya dengan mereka. kini dia harus memperlakukan seolah-olah mereka tidak nyata.

'The Last Concubine' adalah buku yang enak dibaca, dengan cerita yang mengalir, berkisah tentang seorang wanita dari kalangan biasa, dan akhirnya memperoleh mimpinya untuk menjadi seorang selir Shogun. Cerita dalam buku ini berlatar belakang saat Shogun Ieyoshi berkuasa di negeri Jepang. Saat-saat terakhir keruntuhan ke-shogun-an di Jepang yang didahului dengan perpecahan pendapat dan keinginan antara pihak ke-kaisar-an dan ke-shogun-an.

Seperti kita ketahui, Shogun di Jepang merupakan penguasa militer, sedangkan Kaisar adalah lambang kekuasaan. Dalam hal ini, pemegang tampuk pemerintahan sebenarnya adalah Shogun yang membawahi para daimyo(penguasa propinsi).
Kemelut antara Shogun dan Kaisar dipicu oleh mulai hadirnya pasukan-pasukan asing di Jepang. Shogun Ieyoshi termasuk klan Tokugawa. Dan klan Tokugawa ini akhirnya kalah. Lord Yoshinobu sebagai pengganti Lord Ieyoshi sebagai Shogun, tidak berdaya menghadapi tekanan yang bertubi-tubi dari pihak-pihak yang mendukung ke-kaisar-an.

Sachi, yang merupakan selir kesayangan dari Lord Ieyoshi dan berasal dari desa Kiso, merupakan tokoh yang harus jungkir balik menghadapi situasi yang tidak menentu di kastil Edo. Kisah tentang intrik dan pembunuhan yang melibatkan para selir Shogun di kastil Edo serta cengkraman kekuasaan dari ibu suri dibumbui kisah percintaan dan penderitaan dari putri Kazu merupakan sebagian besar dari isi buku ini. Setelah kehancuran kastil Edo, tempat yang dulunya istana para perempuan kini menjadi Taman Timur Istana Kekaisaran(Imperial Palace East Gardens).

Kehidupan para perempuan pada saat itu sangat berbeda. Perempuan berderajat tinggi jarang meninggalkan rumah, selalu bersikap tenang, tanpa perubahan air muka, tidak perduli malapetaka sebesar apapun yang menimpa mereka. Sebuah masyarakat yang tidak memiliki konsep tentang cinta.
Di dalam buku inilah kisah cinta Sachi dituliskan dengan begitu dramatis dan romantis tanpa pernah menggunakan kata "cinta". Buku yang membedah kehidupan para perempuan di Istana Shogun(Kastil Edo) ini sungguh layak untuk dibaca. Bahkan mungkin untuk dikoleksi.

Rabu, 02 Februari 2011

"TIRAI MENURUN" - Nh. Dini

Novel yang menyuguhkan tentang kisah percintaan dengan latar belakang kehidupan rakyat jelata di pedesaan. Kehidupan masyarakat bawah dengan segala kepolosan dan keluguannya disajikan dengan sedemikian menarik. Membaca novel ini seperti mengalami kehidupan pada masa-masa budaya daerah di jawa sedang digandrungi, yaitu kesenian wayang orang.

Nh. Dini, novelis terkenal pada jamannya hingga saat ini mampu menggugah pembaca untuk kembali mengingat betapa berharganya kebudayaan suatu bangsa yang disebut wayang orang. Namun demikian kita akui, kebudayaan yang semestinya dilestarikan tersebut semakin tidak ada gaungnya, tergerus oleh kecepatan arus teknologi yang berkembang sangat pesat saat ini.

Tirai Menurun berkisah tentang kesederhanaan hidup para tokohnya. Menerima dan menjalani kehidupan apa adanya, diselingi dengan intrik-intrik kecil di balik layar panggung wayang orang. Bahkan sang dalang pun ikut membuat novel ini menjadi serasa hidup dengan kendali yang begitu kokoh dan kuat terhadap prinsip kehidupan seorang jawa tulen yang mencintai seni budaya wayang orang.
Kintel tidak mengetahui asal usulnya. Sepanjang ingatan yang muncul di alam sadarnya, dia selalu pindah dari rumah ke rumah, menjadi penolong keluarga-keluarga petani di lingkungannya.
Seperti juga asal kelahirannya, Kintel tidak mengetahui mengapa dia bernama demikian. Seolah-olah itu telah ditetapkan menyatu dengan dirinya.
Dia menerimanya dengan sikap menyerah tanpa pertanyaan. Semua yang terjadi merupakan sesuatu yang sudah semestinya.
Kintel merasa bahagia hidupnya. Sedari kecil, kebutuhan yang utama terdiri dari makan, tidur, 2 baju, dan mandi-mandi di sungai atau pancuran.

"Apa tidak kesepian?",tiba-tiba tangan perempuan di depannya terulur menyentuh perut Kintel. Gerakan kelakar tanda keakraban yang sering kali ia terima dari teman sesama pekerja.
"Tidak!" jawab Kintel.
"Makan dimana? Mau menemani aku ke warung? Makan bersama?" Kintel tidak menjawab. Tapi mukanya tegak, memandang lurus ke wajah wanita itu.
Baru sekarang dia melihat jelas bahwa mata Irah besar, dilindungi bulu-bulu yang melengkung ke angkasa.
"Berapa umurmu?" tanya Irah. Kintel tidak tahu. Dia memang tidak pernah tahu kapan dan dimana ia dilahirkan.
"Sudah pernah tidur dengan perempuan?".
"Belum" jawab Kintel dengan lirih.
"Mengapa?". Ini Kintel juga tidak tahu. Kintel tetap tidak tahu apa yang harus dikatakan.

Seperti kehidupan panggung yang lain, wayang tentu saja membutuhkan pelakon. Kalau perempuan ya harus manis, cantik, dan menarik. Kalau pria ya harus tampan dan cakap. Atau bisa juga kebalikannya yaitu jelek, bengis, bahkan menakutkan. Ramuan ulasan dan kostumnya, kalau ditimbang bisa lebih dari 2 kilogram. Ini yang dinamakan kehidupan panggung.
watak manusia panggung, di hari-hari biasa juga berbeda dari peranan yang dijalankan di waktu malam.

Panggung memiliki peraturannya sendiri. Cara berbicara di panggung berlainan dari di luar.
Pandai omong di luar belum berarti berani dan jelas menyuarakan maksudnya apabila berada di atas panggung.
Pentas adalah pertunjukan. Percakapan tidak boleh lepas dari lingkup lakon. Dialog yang berhubungan dengan dunia luar diserahkan kepada para punakawan, sebagai pembawa udara kehidupan nyata. Sebab itulah mereka sering dijadikan corong pembawa informasi atau iklan.
Benar! Ada penggemar wayang wong(wayang orang). Namun menurut bu Usup, kebanyakan dari mereka mengagumi pemain hanya karena kecantikan dan ketampanan badan atau wajah. Kalaupun ada yang mengerti kemahiran anak wayang dalam berolah krida, tetap saja anggapan moral lebih rendah ditujukan kepada mereka daripada terhadap orang-orang yang memiliki pekerjaan lain.

Dasih suka ngambek. Dia tidak suka dibohongi. Lebih-lebih dia tidak suka suaminya berjudi.
"Kenapa kakang harus terpikat oleh cara-cara maksiat untuk menjadi lebih kaya?".
"Puas dik! Puas karena menang! Itu hiburan!".
"Lha anak-anak? Lha aku? Apa kami ini bukan hiburan?". Dengan jengkel Kedasih memprotes.

Tiba-tiba Sang dalang merasakan sesuatu menyumbat alat pernapasannya. Berangsur-angsur napasnya tersengal pendek-pendek.
Lalu pandangannya meredup, kelopak mata menutup. Tiba-tiba lengan kanannya terangkat naik, seakan memegang sesuatu, menggenggam erat, bergerak ke arah tengah. Seolah dia menancapkan sesuatu yang dia pegang.
Kemudian lengan itu lunglai, jatuh diatas tubuh sang dalang.
Sang dalang telah menancapkan gunungan, tegak di tengah layar.

Selasa, 01 Februari 2011

"ANGELA'S ASHES" Oleh Frank McCourt

Buku ini mengalirkan kisah kehidupan nyata dari sang penulis. Merupakan buku pertama yang ditulis oleh Frank McCourt dan memenangkan Pulitzer Prize 1997, Nasional Book Critic Circle Award, Los Angeles Times Award, serta Royal Society of Literature Award. Buku ini dengan cepat menjadi best seller, menduduki puncak daftar peringkat di seluruh dunia selama lebih dari 3 tahun. Diterbitkan lebih dari 20 bahasa.

Cerita perjuangan hidup sang penulis (Frank McCourt) di masa kecil yang menyedihkan di Irlandia. Orang bisa saja membual dan meratap tentang penderitaan di saat muda, tapi pasti tidak seburuk ala Irlandia: Kemiskinan, Ayah alcoholic yang tidak memiliki kemauan tetapi banyak omong, Pastor-pastor yang angkuh, Guru-guru yang suka menyiksa dan orang-orang Inggris dengan segala arogansinya selama kurang lebih 800 tahun.
Dad datang ke pintu kamar tidur "Bangun, anak-anak, Bangun! Francise, Malachy, Oliver, Eugene. Para ksatria ranting merah, para pejuang Fenian, pejuang IRA. Bangun, Bangun!". "Aku mau mereka siap untuk hari ketika Irlandia merdeka dari tengah ke laut" begitu kata Dad. Bila Dad pulang dengan bau wiski di badannya, meraung, bernyanyi, berderap mengelilingi meja, menangis, si kembar ikut menangis bersama Mom. Dan Mom selalu berkata "Frankie, Malachy, keluarlah! Kalian tidak boleh melihat ayah kalian seperti ini".

Natal tiba. Mom mengajak aku dan Malachy ke St. Vinchent De Paul Society untuk mengantri kupon makan untuk sepotong daging angsa. Ternyata Mom tidak mendapatkan kupon karena antrian yang terlalu panjang sehingga yang tersisa adalah sebuah kalimat dari sang penjaga "Tidak ada angsa, yang tersisa tinggal kepala babi". Mom berujar "tetapi anak-anak tidak akan makan kepala babi itu". Sang penjaga berkata, "selamat natal nyonya, Tuhan memberkati".
Jadilah malam natal yang kami nikmati dengan kepala babi,moncong yang panjang, mata melotot ditengah meja makan, "Selamat Natal frankie".

Saat itu umurku masih sekitar 13 tahun dengan 3 orang adik, yaitu Malachy dan si kembar. Begitulah kehidupanku dari hari ke hari sampai usiaku menginjak 17 tahun. Inilah awal bagiku untuk mengadu nasib dengan pergi berlayar ke Amerika bersama seorang Pastor.
Itulah sedikit kutipan tentang kisah nyata dalam buku Angela's Ashes. Seorang anak kecil yang bertahan hidup dalam kemiskinan, cuaca yang tidak bersahabat, penyakit, kematian, dan kekuasaan pemuka agama serta berjuang demi kehidupan yang lebih baik. Selama 30 tahun berikutnya, Frank McCourt mengajar di berbagai sekolah menengah dan perguruan tinggi negeri di New York.

Sebuah buku yang menakjubkan dan sungguh-sungguh memukau. Membaca cerita ini akan membuat anda terperangah. Alur cerita tentang hidup yang suram dengan keberuntungan-keberuntungan kecil yang kerap diraih Frank McCourt dengan cara tak terduga, akan membuat anda tersenyum dan tertawa sendiri. Sungguh buku ini akan membuat anda larut dalam haru tetapi dapat tersenyum saat merasakan kemenangan akhir sang penutur kisah.