Kamis, 03 Februari 2011

"The Last Concubine" - Lesley Downer

Gambaran yang paling melekat dalam ingatan Sachi - saat mengenang kampung halamannya bertahun-tahun kemudian - adalah pohon-pohon pinus tinggi yang berbaris di sepanjang tepi jalan; langit melengkung yang terlihat lebih dekat seakan-akan bisa disentuh; gunung-gunung pucat berkilauan yang terlihat sangat jauh.

Mendengar rencana kedatangan sang putri, Sachi duduk di samping alat pintal, membantu ibunya menggulung kapas menjadi gelondongan; sementara neneknya memutar roda pemintal di sudut ruangan.

Menjadi pengantin shogun! Hal itu terdengar seperti dongeng yang kadang kala diceritakan nenek. Gadis itu merasa penasaran bagaimana rupa sang shogun. Apakah ia tua dan jelek, keriput serta kurus kering seperti rahib di desanya? Atau masih muda dan penuh semangat?

Sachi mulai memahami mengapa wajah Yang Mulia Putri terlihat begitu akrab. Karena wajah itu mirip dengan wajah yang terpantul dari cermin ibunya yang kusam - seraut wajah serupa wajahnya, hanya saja dalam versi yang lebih dewasa.

Sekilas Sachi memandang ke arah sang putri. Dia bisa menebak apa yang ada dalam benaknya. Sang putri telah dipaksa pergi ke Edo dan menikah dengan shogun, padahal ia telah bertunangan dengan seorang pangeran kekaisaran.

Kastil Edo terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama disebut Aula Dalam atau Ooku, tempat para perempuan agung dan pengiringnya tinggal; yang dilengkapi dengan taman-taman kesenangan, danau-danau, dan sungai kecil serta air terjun, ditambah dengan adanya panggung-panggung untuk pertunjukan drama dan tari.

"Kau pasti lelah," ia berkata, menggunakan kata-kata resmi yang masih digunakan majikan kepada pelayannya untuk berterima kasih. "Kau telah melayani saya dengan baik." Inilah pertama kalinya sang putri berbicara langsung kepada Sachi. Ia melirik. Sesaat, kedua mata mereka bertemu. Senyum Putri Kazu terlihat agak sedih.

Begitulah, suatu hari Lord Ieyoshi melihatku. Sebenarnya, ayahnya juga menginginkan aku, tapi beliau membiarkan Lord Ieyoshi meminangku. Dan seperti itulah yang terjadi. Selanjutnya yang aku tahu, aku telah menjadi selir. Di masa itu ada banyak sekali selir.

Sachi sedang belajar bagaimana bersikap sebagai perempuan agung; berusaha mencari tahu cara bersikap terhadap orang yang berada di bawah derajatnya. Sebelum ini, derajatnya hampir sama rendahnya dengan mereka. kini dia harus memperlakukan seolah-olah mereka tidak nyata.

'The Last Concubine' adalah buku yang enak dibaca, dengan cerita yang mengalir, berkisah tentang seorang wanita dari kalangan biasa, dan akhirnya memperoleh mimpinya untuk menjadi seorang selir Shogun. Cerita dalam buku ini berlatar belakang saat Shogun Ieyoshi berkuasa di negeri Jepang. Saat-saat terakhir keruntuhan ke-shogun-an di Jepang yang didahului dengan perpecahan pendapat dan keinginan antara pihak ke-kaisar-an dan ke-shogun-an.

Seperti kita ketahui, Shogun di Jepang merupakan penguasa militer, sedangkan Kaisar adalah lambang kekuasaan. Dalam hal ini, pemegang tampuk pemerintahan sebenarnya adalah Shogun yang membawahi para daimyo(penguasa propinsi).
Kemelut antara Shogun dan Kaisar dipicu oleh mulai hadirnya pasukan-pasukan asing di Jepang. Shogun Ieyoshi termasuk klan Tokugawa. Dan klan Tokugawa ini akhirnya kalah. Lord Yoshinobu sebagai pengganti Lord Ieyoshi sebagai Shogun, tidak berdaya menghadapi tekanan yang bertubi-tubi dari pihak-pihak yang mendukung ke-kaisar-an.

Sachi, yang merupakan selir kesayangan dari Lord Ieyoshi dan berasal dari desa Kiso, merupakan tokoh yang harus jungkir balik menghadapi situasi yang tidak menentu di kastil Edo. Kisah tentang intrik dan pembunuhan yang melibatkan para selir Shogun di kastil Edo serta cengkraman kekuasaan dari ibu suri dibumbui kisah percintaan dan penderitaan dari putri Kazu merupakan sebagian besar dari isi buku ini. Setelah kehancuran kastil Edo, tempat yang dulunya istana para perempuan kini menjadi Taman Timur Istana Kekaisaran(Imperial Palace East Gardens).

Kehidupan para perempuan pada saat itu sangat berbeda. Perempuan berderajat tinggi jarang meninggalkan rumah, selalu bersikap tenang, tanpa perubahan air muka, tidak perduli malapetaka sebesar apapun yang menimpa mereka. Sebuah masyarakat yang tidak memiliki konsep tentang cinta.
Di dalam buku inilah kisah cinta Sachi dituliskan dengan begitu dramatis dan romantis tanpa pernah menggunakan kata "cinta". Buku yang membedah kehidupan para perempuan di Istana Shogun(Kastil Edo) ini sungguh layak untuk dibaca. Bahkan mungkin untuk dikoleksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar