Sabtu, 05 Februari 2011

"MUSASHI" - Eiji Yoshikawa

Kisah ini terjadi sekitar akhir abab XVI dan awal abab XVII. Jaman dimana Tokugawa Ieyasu mulai tampil menancapkan pengaruhnya ke seluruh Jepang. Musashi, tokoh kelas bawah yang mencari jati diri lewat pedang. Dengan kisah ini, kita bisa melihat situasi sosial - politik - budaya saat itu. Kisah ini memberikan kilasan sejarah Jepang dan pemahaman akan idealisasi citra-diri manusia Jepang masa kini.

Kyoto, kota pertama yang ditujunya. Ia menentang aliran termasyhur saat itu, Yoshioka. Sendirian ia berhasil membunuh 70 lawannya. Sementara itu, ia terus mengembara untuk mematangkan teknik pedangnya dan juga filsafatnya. Sedikit demi sedikit ia sadar bahwa "pejuang terbaik tidak lagi berkelahi", dan ia pun mulai beralih mencari seni damai: membantu petani mengolah tanah, mengorganisir mereka melawan bandit-bandit.

Kisah yang ditulis dengan gaya yang mirip dengan fiksi tradisional Jepang. Tidak kurang dari 120 juta eksemplar buku ini terjual! Sudah tujuh kali kisah ini difilmkan.

Musashi memberikan jawaban, "Kalau kebetulan saya terbunuh, tak ada bedanya, apakah Anda membuang tubuh saya ke Gunung Toribe atau melemparkannya ke Sungai Kamo bersama sampah. Baik untuk yang pertama maupun yang kedua, saya berjanji tak akan menuntut balas."

Bagi Musashi, yang penting sejak sekarang dan untuk seterusnya adalah pedangnya dan masyarakat sekitarnya, juga seni pedang yang dikuasainya dalam hubungan kehadirannya sebagai manusia. Pada saat memperoleh pemahaman mendalam itu, ia pun puas karena telah menemukan hubungan antara seni beladiri dan visinya mengenai kebesaran.

Musashi lebih cepat dari pedang. Dan lebih cepat lagi lejitan pedang berkilau dari sarungnya sendiri. Kedua orang itu sudah terlampau dekat untuk dapat tampil tanpa cedera, tapi sejenak sesudah cahaya pantulan pedang menari-nari, mereka mundur.

Musashi menjaga betul agar tidak melakukan gerakan tak perlu. Taktik-taktiknya yang primitif tidak dapat dipergunakan. Sampai batas-batas tertentu ia merasa heran, karena tangannya menolak dijulurkan. Maka hal terbaik yang dapat dilakukannya adalah mengambil jurus bertahan konservatif, dan menanti. Matanya semakin merah mencari peluang, dan ia berdoa kepada Hachiman agar menang.

Musashi memperhatikan segumpal awan kecil di langit. Ketika itulah jiwanya kembali ke tubuhnya, dan baru waktu itulah ia melihat beda antara awan dan dirinya, antara tubuhnya dan alam semesta.

Manusia tak pernah meninggalkan rasa cinta dan benci selama hidupnya. Gelombang perasaan datang dan pergi, bersama seiring dengan waktu. Sepanjang hidup Musashi, ada saja orang-orang yang membenci kemenangannya dan mengecam tingkah lakunya pada hari itu.
Pedang dan gelimang darah
Kemenangan tanpa mengalahkan
Sekali tebas untuk sebuah kepastian
Tiada kesombongan bagi satu keberhasilan

Musashi adalah sosok samurai sejati...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar