Senin, 07 Februari 2011

"Madame Kalinyamat" - Zhaenal Fanani

Sebuah novel epos yang mampu menyentuh hati para pembacanya. Ternyata dalam ketidak-berdayaan seorang perempuan masih tersimpan sebuah kekuatan - yang oleh penulis(Zaenal Fanani) dituturkan dalam sebuah cerita yang menggugah perasaan. Membaca Novel ini akan semakin melengkapi pengetahuan kita tentang sejarah masa lalu. Seperti yang kita tahu, sejarah masa lalu tidak selalu bercerita tentang kejayaan ataupun kegemilangan sebuah kerajaan. Namun, kadangkala ada kisah-kisah sedih yang seringkali luput dari perhatian. Melalui Novel ini, kita akan diajak menengok kembali suatu kejadian tragis dalam sejarah Kesultanan Pajang dan Demak.


Kecantikan, kecerdikan, dan rahim darah biru mengantarnya memiliki gravitasi menawan. Ia bagaikan gelombang yang terkadang meradang dahsyat, namun sesekali bergerak santun dengan bahasanya. Ia sosok yang mengumpulkan sederet kesempurnaan. Ia putri ketiga Sultan Trenggana, Sultan Demak Bintara. Dan ia dipersunting Pangeran Kalinyamat. Ia hidup dalam lingkar kekuasaan Kesultanan Demak.

Kekuatan cinta, ketika suaminya terbunuh ditangan Arya Penangsang, membawanya menakar sebuah sumpah. Ia akan berpuasa dengan tubuh tanpa pakaian, sepanjang belum menyaksikan penggalan kepala Arya Penangsang. Dan kelak, ia akan membuat kepala itu sebagai alas kaki pada pintu masuk pesanggrahannya di Gunung Danaraja.

Dua orang penunggang kuda, yang seorang adalah laki-laki dan yang seorang lagi adalah perempuan. Si laki-laki berwajah tampan. Si perempuan adalah perpaduan dari sebuah ciptaan yang sempurna. Para prajurit mengenali mereka sebagai Pangeran Kalinyamat dan istrinya, Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat ialah adik Sunan Prawata. Mereka adalah dua diantara enam putra mendiang Sultan Demak, Sultan Trenggana.
"Aku ingin menengok Kang Mas Prawata..." Ratu Kalinyamat menjelaskan maksud kedatangannya.
"Aku khawatir Arya Penangsang menuntut darah ayahnya" Sunan Prawata berucap, membelah keheningan yang sesaat meruang di balairung kamar itu.

Jauh sebelum kedatangan Ratu Kalinyamat ke ibukota Demak, disebuah senja yang bersahabat, Arya Penangsang dipanggil gurunya, Syekh Ja'far Shadiq atau dikenal dengan sebutan Sunan Kudus. Sunan Kudus memiliki tiga orang murid. Yang pertama adalah Arya Penangsang sebagai Adipati di Jipang. Yang kedua adalah Sunan Prawata, yang bertahta sebagai Sultan Demak. Yang ketiga ialah Mas Karebet atau Jaka Tingkir, yang saat ini bertahta sebagai Adipati di Pajang bergelar Hadiwijaya.

Langit di kaki bumi mulai memerah. Arya Penangsang bangkit. Dengan tubuh bergetar, ia mencium tangan Sunan Kudus, lalu mundur dan meninggalkan sang Sunan. Saat itu, Sunan Kudus dapat merasakan hawa panas pada tangannya yang baru dicium Arya Penangsang.

"Kisanak, Kanjeng Sunan Prawata telah wafat! Kami harus buru-buru memberi tahu adinda Kanjeng Sunan, Ratu Kalinyamat!" salah seorang dari prajurit itu menjawab. Pangeran Kalinyamat beserta sang istri, Ratu Kalinyamat terlihat memasuki Istana Demak. Obor-obor masih menyala. Bendera berkabung berkibar-kibar. Beberapa prajurit Demak tegak membentuk formasi menyambut kedatangan para tamu untuk ikut berbela sungkawa.
Dengan gerakan gontai, Ratu Kalinyamat mendekati ranjang perabuhan Sunan Prawata. Mimik wajahnya tampak kusut. Ia berpaling sejenak pada suaminya. Kemudian, dengan tangan bergetar, ia singkapkan kain penutup bersulam itu. Disana ia melihat sebuah tubuh yang telah diam membeku. Tubuh seorang yang dilahirkan dari rahim yang sama dengan dirinya.

"Kang Mas Kalinyamat, aku merasa Sunan Kudus berpihak pada Arya Penangsang!" kata Ratu Kalinyamat dalam perjalanan pulang.
"Sudahlah Nyi Ratu. Meski kita tidak sependapat dengan gagasan Kanjeng Sunan Kudus, tapi sebaiknya kita jauhkan segala prasangka pada diri beliau. Kita hormati semua jalan pikiran beliau," sahut Pangeran Kalinyamat berusaha menenangkan hati istrinya.
"Kang Mas, kita diikuti!" bisik Ratu Kalinyamat sangat pelan. Pangeran Kalinyamat mengangguk. Seperti halnya Ratu Kalinyamat, sebenarnya ia juga merasa ada gerakan yang tak henti mengawasi mereka.
Empat belas laki-laki cepat membentuk lingkaran, lalu bersamaan mereka serentak maju. Ruang gerak Pangeran Kalinyamat kian menyempit. Ia mulai terkurung dari segala penjuru tanpa ada celah untuk menghindar.
Ia terhuyung kebelakang, namun dari arah belakang, empat laki-laki sudah menyambutnya dengan tombak melayang ke udara. Seperti suara halilintar, Ratu Kalinyamat tercengang kaku mendengar kematian Pangeran Kalinyamat.

Lalu ia berteriak melolong, "
Wahai langit! Wahai Bumi! Saksikan sumpahku...!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar