Rabu, 02 Februari 2011

"TIRAI MENURUN" - Nh. Dini

Novel yang menyuguhkan tentang kisah percintaan dengan latar belakang kehidupan rakyat jelata di pedesaan. Kehidupan masyarakat bawah dengan segala kepolosan dan keluguannya disajikan dengan sedemikian menarik. Membaca novel ini seperti mengalami kehidupan pada masa-masa budaya daerah di jawa sedang digandrungi, yaitu kesenian wayang orang.

Nh. Dini, novelis terkenal pada jamannya hingga saat ini mampu menggugah pembaca untuk kembali mengingat betapa berharganya kebudayaan suatu bangsa yang disebut wayang orang. Namun demikian kita akui, kebudayaan yang semestinya dilestarikan tersebut semakin tidak ada gaungnya, tergerus oleh kecepatan arus teknologi yang berkembang sangat pesat saat ini.

Tirai Menurun berkisah tentang kesederhanaan hidup para tokohnya. Menerima dan menjalani kehidupan apa adanya, diselingi dengan intrik-intrik kecil di balik layar panggung wayang orang. Bahkan sang dalang pun ikut membuat novel ini menjadi serasa hidup dengan kendali yang begitu kokoh dan kuat terhadap prinsip kehidupan seorang jawa tulen yang mencintai seni budaya wayang orang.
Kintel tidak mengetahui asal usulnya. Sepanjang ingatan yang muncul di alam sadarnya, dia selalu pindah dari rumah ke rumah, menjadi penolong keluarga-keluarga petani di lingkungannya.
Seperti juga asal kelahirannya, Kintel tidak mengetahui mengapa dia bernama demikian. Seolah-olah itu telah ditetapkan menyatu dengan dirinya.
Dia menerimanya dengan sikap menyerah tanpa pertanyaan. Semua yang terjadi merupakan sesuatu yang sudah semestinya.
Kintel merasa bahagia hidupnya. Sedari kecil, kebutuhan yang utama terdiri dari makan, tidur, 2 baju, dan mandi-mandi di sungai atau pancuran.

"Apa tidak kesepian?",tiba-tiba tangan perempuan di depannya terulur menyentuh perut Kintel. Gerakan kelakar tanda keakraban yang sering kali ia terima dari teman sesama pekerja.
"Tidak!" jawab Kintel.
"Makan dimana? Mau menemani aku ke warung? Makan bersama?" Kintel tidak menjawab. Tapi mukanya tegak, memandang lurus ke wajah wanita itu.
Baru sekarang dia melihat jelas bahwa mata Irah besar, dilindungi bulu-bulu yang melengkung ke angkasa.
"Berapa umurmu?" tanya Irah. Kintel tidak tahu. Dia memang tidak pernah tahu kapan dan dimana ia dilahirkan.
"Sudah pernah tidur dengan perempuan?".
"Belum" jawab Kintel dengan lirih.
"Mengapa?". Ini Kintel juga tidak tahu. Kintel tetap tidak tahu apa yang harus dikatakan.

Seperti kehidupan panggung yang lain, wayang tentu saja membutuhkan pelakon. Kalau perempuan ya harus manis, cantik, dan menarik. Kalau pria ya harus tampan dan cakap. Atau bisa juga kebalikannya yaitu jelek, bengis, bahkan menakutkan. Ramuan ulasan dan kostumnya, kalau ditimbang bisa lebih dari 2 kilogram. Ini yang dinamakan kehidupan panggung.
watak manusia panggung, di hari-hari biasa juga berbeda dari peranan yang dijalankan di waktu malam.

Panggung memiliki peraturannya sendiri. Cara berbicara di panggung berlainan dari di luar.
Pandai omong di luar belum berarti berani dan jelas menyuarakan maksudnya apabila berada di atas panggung.
Pentas adalah pertunjukan. Percakapan tidak boleh lepas dari lingkup lakon. Dialog yang berhubungan dengan dunia luar diserahkan kepada para punakawan, sebagai pembawa udara kehidupan nyata. Sebab itulah mereka sering dijadikan corong pembawa informasi atau iklan.
Benar! Ada penggemar wayang wong(wayang orang). Namun menurut bu Usup, kebanyakan dari mereka mengagumi pemain hanya karena kecantikan dan ketampanan badan atau wajah. Kalaupun ada yang mengerti kemahiran anak wayang dalam berolah krida, tetap saja anggapan moral lebih rendah ditujukan kepada mereka daripada terhadap orang-orang yang memiliki pekerjaan lain.

Dasih suka ngambek. Dia tidak suka dibohongi. Lebih-lebih dia tidak suka suaminya berjudi.
"Kenapa kakang harus terpikat oleh cara-cara maksiat untuk menjadi lebih kaya?".
"Puas dik! Puas karena menang! Itu hiburan!".
"Lha anak-anak? Lha aku? Apa kami ini bukan hiburan?". Dengan jengkel Kedasih memprotes.

Tiba-tiba Sang dalang merasakan sesuatu menyumbat alat pernapasannya. Berangsur-angsur napasnya tersengal pendek-pendek.
Lalu pandangannya meredup, kelopak mata menutup. Tiba-tiba lengan kanannya terangkat naik, seakan memegang sesuatu, menggenggam erat, bergerak ke arah tengah. Seolah dia menancapkan sesuatu yang dia pegang.
Kemudian lengan itu lunglai, jatuh diatas tubuh sang dalang.
Sang dalang telah menancapkan gunungan, tegak di tengah layar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar